Wednesday 3 June 2009

Perjalanan Bioskop di Bandung: Dari ‘Tenda’ ke ‘Gedung’

12

Beruntunglah buat movielovers yang lahir pada abad ini. Mau nonton bioskop? Akses mudah dan kualitasnya juga kenyamanan pun terjamin. Tinggal duduk santai di atas sofa nyaman, diiringi dengan sound yang oke, dan gak perlu kipas-kipas kalau kepanasan karena sudah tersedia AC. Ya, keadaannya jauh berbeda dengan masa eyang-buyut kita dulu.

Saat munculnya film dan bioskop di awal abad ke 20, keberadaannya memang sudah dianggap sebagai bukti modernitas dunia hiburan saat itu. Semua orang terkagum-kagum melihat ‘keajaiban jaman’ tersebut. Ada gambar bisa hidup! Berkat Helant dan Michael, pendiri bioskop pertama di Bandung, demam film ini sampai juga ke Kota Bandung tahun 1907. Bioskop yang pertama berdiri di Bandung adalah De Crown Bioscoop dan Oranje Bioscoop, lokasi keduanya berada di Alun-alun Bandung. Meskipun saat itu bangunan bioskop masih berupa tenda semipermanen dan lantainya hanya dilapisi tikar, namun tenda-tenda tersebut tak pernah sepi umbul-umbul dan dekorasi bendera. Antusiasme warga Bandung pada film saat itu begitu meriah.

Mungkin salah satu alasan bagi movielovers memilih nonton film di bioskop adalah karena faktor soundnya. Apalagi kalau nonton film action atau horor, gak seru juga kalau cuma nonton lewat DVD di kamar sendiri. Nah, buat eyang-buyut kita dulu, urusan sound gak jadi masalah. Bahkan mereka rela menonton tanpa suara alias bisu. Karena semua film yang diputar pada masa itu memang masih bisu, hanya berupa gambar yang hidup saja. Makannya disebut sebagai era film-bisu. Tapi mereka gak kecewa karena pemilik bioskop tempo itu punya ide untuk menyiasatinya, yaitu dengan menyediakan orgel untuk mengiringi gambar-gambar bisu yang ditampilkan. Bahkan untuk mengatasi ‘kebisuan’ dibutuhkan pula seorang komentator yang tugasnya mengomentari adegan-adegan yang muncul di layar proyeksi. Hmm..nonton bisokop kok jadi kayak nonton wayang ya?

Dan ternyata nih movielovers, rasialisme saat itu memang lagi gencar-gencarnya. Sampai-sampai ruang pertunjukkan pun dibagi menjadi beberapa kelas dan tentunya dengan harga karcis yang berbeda pula. Karcis kelas I diperuntukkan bagi orang Eropa atau pribumi menak, kelas II untuk kalangan Timur asing atau pribumi menengah, dan kelas III atau IV untuk kalangan menengah ke bawah. Tapi…kalau mau yang lebih murah lagi, Feesterrein alias taman hiburan rakyat bisa jadi pilihan buat mencari hiburan. Maklum saja, saat itu sarana hiburan masih sangat langka. Jadi, meskipun gerimis atau hujan sekalipun bagi mereka gak masalah dan pertunjukkan pun akan tetap berlangsung.


Pada akhir 1910, bioskop-bioskop di Bandung mulai beralih ke bangunan permanen yang dirancang khusus sebagai gedung bioskop. Pertengahan 1920, dibangun Concordia Bioscoop yang saat ini kita kenal sebagai gedung AACC. Concordia merupakan bioskop paling elit di Bandung karena menggunakan standar bioskop Eropa. Film-film yang diputar saat itu diantaranya film Zigomar buatan Prancis, Kathleen buatan Inggris, dan Liberty buatan Hollywood. Film yang paling disukai anak-anak adalah film Zorro dan Tarzan. Nah, dalam perjalanan sejarah gambar hidup, jenis film yang paling digemari penonton (termasuk Bung Karno dan Presiden Kennedy) adalah cerita cowboy seperti Zigomar.

Berbeda dengan dulu, kehadiran bioskop saat ini memang tidak seramai dan semeriah dulu. Keberadaan bioskop sekarang tidak lagi dapat dilihat dari gedungnya yang berdiri sendiri. Bioskop yang ada saat ini lebih senang ‘bersembunyi’ di balik nama besar sebuah mall, plaza atau pusat perbelanjaan, menyusup, menyatu, dan menjadi bagian darinya.(achie)


Sumber
www.klabaleut.multiply.com
Kunto, Haryoto, Bandoeng Tempoe Doeloe, Granesia, Bandung, 1984.

12 comments:

Dimas Dito said...

sejarah bioskop ditelaah juga oleh teman kita. jadi isinya hampir sama.. sejarah bioskop di indonesia unik.. mau tanya dong.. tau ga sejarahnya layar tancep yang ngetrend di budaya betawi? ini cuma sekitaran bandung ya achie n lingga?

POPCORN said...

iya! ini sejarah bioskop di Bandung. wah boleh juga tuh pertanyaannya! nanti POPCORN coba cari sejarah layar tancep di belah bumi Indonesia. menarik juga. terimakasih banyak usulan topiknya : )

lodra said...

bagus2, pengetahuannya luas...
dapet referensi dari mana ya?
klo bisa ditulis sumbernya...
lanjutkan!!!

POPCORN said...

soal sumber menyusul yah mas lodra :p
sipsip makasih! keep visiting us!

defa siKambink said...

turunkan harga tiket bioskop!!
saya sebagai org yg rada kere merasa terbebani oleh harga tiket bioskop sekarang..

Anonymous said...

beuh...
jadi gt toh sejarahnya..
oia,mw nanya dong!
klo gt bedanya yg di dibuat kelas2 tuh apa?
bknny sm2 gt2 ajah yah filmnya...

satu lg,knp bioskop2 yg ud tua itu g dpertahanin sih?kan itu sumber sejarah...

POPCORN said...

masalah perbedaan kelas I, II, III, itu lebih kekenyamanan ajah. Kalau yang kelas III tentu lebih merakyat. Menurut sumber sih, kalau di kelas III itu justru lebih ramai karena penonton bisa sambil jajan jajanan khas di masa itu.

Ya, popcorn juga setuju dengan tentang keberadaan bioskop-bioskop tua, itu dia...semuanya bakal balik lagi ke masalah ekonomi, bioskop tua gak bakal bisa bertahan di tengah persaingan bisnins bioskop saat ini kalau gak dibantu pemerintah. Nyatanya memang gak ada protect dari pemerintah untuk bioskop-bioskop tua itu, fungsi bangunan berubah, bahkan sebagian bangunan bioskop sudah berganti dengan bangunan baru.

Thanks for comment n_n

lodra said...

wah hebat, komen saya cepat sekali ditanggepinnya...
makasih, saya do'akan diri saya sendiri dan kalian agar sukses
lanjutkan!!!

POPCORN said...

makasih mas lodra :)
keep visiting us!

Anonymous said...

waaaahhh..... jadi tau deh asal usul bioskop di bandung khususnya...... keepposting ya.... [ganies]

POPCORN said...

okey ganies..keep visiting us juga ya.. :)

ridho said...

hmmm.. pernah nonton film bisu tapi di iringin orkestra ga? keren lo...

Post a Comment

recent post

recent comments

popcorn