Saturday 27 June 2009

Nia Dinata Bikin Film Animasi

7

ADA YANG BEDA dari karya Nia Dinata kali ini. yap! September mendatang, produser film yang akrab disapa Teh Nia ini, bakal merilis Film Animasi 3D musikal barengan sama Gita Gutawa dan Patton Idola Cilik. Film yang berjudul Meraih Mimpi ini melibatkan aktor dan aktris, seperti Surya Saputra, Cut Mini Theo, Nina Tamam, Shanty, dan Ria Irawan.

Bercerita tentang petualangan Kakak Adik Gita dan Paton Idola Cilik yang berjuang untuk mempertahankan desanya yang terancam dijadikan Resort oleh tuan tanah (Surya Saputra). Petualangan seru ini dimeriahkan oleh Cut Mini Theo dan Shanty yang berperan jadi burung kakak tua dan burung beo.

Kabarnya, film ini digarap Nia bekerja sama dengan Infinite Framework (IFW), studio animasi di Batam dari dua tahun yang lalu. “Ini tantangan baru, karena beda dan aktor-aktornya juga antusias karena ceritanya menarik,” ujar wanita kelahiran 4 Maret 1970 itu.

Proses produksi film animasi ini diakui Nia sebagai hal yang mengasyikan. Misalnya, saat bikin hutan, bulldozer, dan gambar-gambar lainnya. “Pohon-pohonnya, hutannya itu Indonesia banget!” kata Nia. Wah, gak kalah dong sama film-film animasi di luar sana?

Popcorn berharap dengan hadirnya film animasi ini, siapapun penontonnya, terutama anak-anak dapat menangkap pesan penting namun ringan mengenai lingkungan. Penasaran kan gimana serunya petualangan kedua penyanyi ini? langsung aja tonton filmnya 10 September mendatang.(link)

read more......

Towelhead (2007)

6

Selain Juno, Never Been Kissed, dan American Pie, ada satu lagi film yang bisa mengajarkan penontonnya pendidikan seks. Judulnya Towelhead. Towelhead itu sebutan buat Jasira (Summer Bishil), gadis 13 tahun yang penasaran banget sama yang namanya seks. Karena kedua orangtuanya bercerai, Jasira nggak punya teman diskusi untuk urusan yang satu ini. Alhasil, anak keturunan Arab-Amerika itu mencari sendiri bahkan mencobanya. Gawat kan? Kita bakalan dibuat geli sekaligus kesal oleh film ini. Pasalnya, film yang disutradarai oleh Alan Ball ini menampilkan sosok Jasira yang super polos. Saking polosnya, apa yang ia lakukan jadi terlihat bodoh. Misalnya saat keperawanannya direnggut oleh Mr. Vouso (Aaron Eckhart), tetangganya yang juga seorang tentara.

Yang menarik dari film ini adalah ceritanya yang mengangkat isu perbedaan ras dengan latar belakang perang teluk. Keliatan banget pas ayah Jasira, Rifat (Peter Macdissi) gak suka sama Thomas Bradley (Eugene Jones III) cowok kulit hitam, teman sekolah Jasira. Selain itu, Popcorn juga suka banget sama akting Melina (Toni Collette) dan suaminya, yang care banget sama Jasira.

Setelah menonton film ini, kita jadi tahu kalau pendidikan seks memang penting diajarkan sedini mungkin. Kalau nggak? Hal kayak gini mungkin aja terjadi. So, enjoy the movie guys! (link)

read more......

Thursday 18 June 2009

1stScenefest : Ajang Temu Komunitas Film Se-Jatinangor

7

Kalau Kamis (11/6) kemarin Cinemaks bikin screening film di Korban Kopi Jatinangor, sekarang giliran pengumuman pemenangnya. Ya! Awarding Social Phenomenon Film Festival atau 1stSceneFest ini digelar Sabtu siang di Gedung B lantai 2 Kampus Fisip Unpad.

Suasana siang itu memang sepi. Maklum, mahasiswanya udah pada beres UAS. Tapi setelah acara dimulai, kampus jadi ramai dikunjungi mahasiswa dari luar kampusnya. Ada temen-temen dari Cinematography Club Fikom, Forum Filmmaker Pelajar Bandung, TNT, Komunitas Lenting juga ikut meramaikan suasana. Tidak hanya mereka, tapi ada juga yang datang jauh-jauh dari Jogjakarta, yaitu dari Kineklub dan dari Universitas Atmajaya.

Dari 14 film pendek fiksi yang masuk, panitia memilih 5 film terbaik. “Benting” karya temen-temen F2PB meraih penghargaan best editing, “Raung Ruang” karya Komunitas Lenting meraih best cinematography, Ridho Aditya di filmnya “PSK” berhasil meraih penghargaan best acting, Robby Prasetyo meraih penghargaan best directing dalam filmnya "Ice Cone", dan film “Ice Cone” pula yang dinobatkan sebagai film terbaik. Wah, selamat ya buat para pemenang!

Sayangnya, siang itu, ketiga juri yaitu Dosen Kesejahteraan Sosial Pak Herry Wibowo, Gustaff Iskandar dari Commonroom dan Ariani Darmawan dari Kineruku berhalangan hadir. Yah padahal Popcorn pengen banget dengerin paparan para juri, kenapa kelima film ini bisa jadi pemenang. Bisa jadi bahan evaluasi juga kan.. hehe. Peserta yang tidak hadir di malam screening juga sempet kecewa karena film yang terpilih sebagai best movie tidak diputar di akhir acara.

Antusiasme temen-temen jatinangor terhadap film ini tampaknya sedang menggeliat. Buktinya, terbentuk Komunitas Lenting dan Serikat Pilm Djatinangor (SPD). Meskipun bentuknya komunitas dan anggotanya tidak banyak, tapi seenggaknya hal itu sudah menunjukkan ketertarikan temen-temen Jatinangor terhadap film.

Lenting misalnya. Komunitas ini terbentuk pada Desember 2008 dan siapa saja boleh gabung. “Sebenarnya kita fokus ke dokumenter, tapi kali ini masukin fiksi,” ujar haris salah satu anak Lenting yang juga berpartisipasi 1stSceneFest hajatan anak Kesejahteraan Sosial Fisip itu. .

Melihat antusiasme peserta, Cinemaks berencana untuk terus mengadakan festival film setiap tahunnya. Festival film pertama anak-anak Cinemaks ini bisa jadi satu wadah untuk mempertemukan temen-temen komunitas film di Jatinangor. Semoga aja komunitas-komunitas ini bisa terus maju dan berkaya ya. Tetap semangat! (link)

read more......

Juno (2007)

4

AKHIRNYA popcorn nonton film ini juga! Hehe. Ternyata apa yang orang bilang bener ya, film ini bikin penontonnya diam di tempat ngikutin setiap jalan ceritanya. Di awal, kita dikasih liat animasi menarik yang bikin kita penasaran kaya apa isi filmnya. Juno McGuff (Ellen Page), cewek 16 tahun yang memutuskan untuk having sex sama temannya Paulie Bleeker (Michael Cera), seorang anggota tim lari sekolahnya. Juno hamil dan sahabatnya Leah (Olivia Thirlby) mencetuskan ide untuk mencari orangtua asuh buat si bayi. Akhirnya, mereka menemukan Mark (Jason Batemen) dan Vanessa Loring (Jennifer Garner) yang sudah lima tahun menginginkan kehadiran seorang bayi di rumahnya. seru kan? yup! Popcorn really recommends this film! Fresh and entertaining! (link)

read more......

Friday 12 June 2009

Benting

7

Judul Film : BENTING
Durasi : 17 menit
Sutradara : Ahmad Hasan Yuniardi
Tahun Produksi : 2009

SETUMPUK PEKERJAAN rumah ternyata bikin Ibu kewalahan. Gimana nggak? Tiap hari Ia harus masak, menyetrika baju, beres-beres rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Wajar kan kalau mereka ngomel terus? Itulah yang disajikan anak-anak Forum Filmmaker Pelajar Bandung (F2PB) dalam film terbarunya, Benting. Sebuah film keluarga yang sederhana namun dekat dengan keseharian movielovers semua.

Sore itu, isi rumah benar-benar penuh dengan omelan sang Ibu. Tapi, sebuah benting tiba-tiba mengubahnya. Omelan itu berubah jadi tawa saat benting yang digunakan Ibu berhasil dilepaskan oleh Alwin, Ifa, dan si bungsu Raka.

Film ini menyajikan dialog yang biasa terjadi di rumah. Akting para pemain pun sangat natural. apalagi saat mereka tertawa bersama-sama. Lepas banget! Jadi, suasana yang dibangun memang suasana rumah yang penuh dengan kehangatan.

Eh movielovers, ada yang unik nih dari film ini. Apa movielovers familiar dengan kata Benting? Benting adalah nama lain dari ikat pinggang. Ternyata, film ini tidak hanya menyuguhkan kehangatan sebuah keluarga, tetapi juga memperkenalkan kosa kata baru pada penontonnya. Kabarnya, film ini juga diambil dari kisah nyata. Wah, menarik juga ya movielovers!

Film ini adalah film pendek pertama F2PB di tahun 2009. Kira-kira mau bikin film apa lagi ya mereka? Kita tunggu aja. Sukses terus F2PB! (link)

read more......

Garin Nugroho : Jenuh di Film

0

NAMA GARIN NUGROHO di dunia perfilman tampaknya sudah tidak asing lagi. Opera Jawa yang digarapnya telah merambah dunia Internasional. Garin yang juga seorang anggota Dewan Pers ini tidak semata-mata meninggalkan dunia film. Saat ini, Ia sibuk mencari pengalaman untuk menghidupkan kembali spirit berfilmnya dengan bermain teater, jalan-jalan, dan kegiatan lainnya. Selasa (9/6) lalu, POPCORN mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Mas Garin mengenai beberapa hal. Ya, sekedar ngobrol-ngobrol ringan, tapi semoga bisa menginspirasi movielovers semua ya.. OK, ini dia petikannya.

Lagi sibuk apa nih?

Jenuh di film. Kemarin banyak produksi film Opera Jawa. Orang kan kalau jenuh harus berhenti. Walaupun ditawari film paling laris di muka bumi ya berhenti aja. Sekarang opera Jawa dibikin teater untuk opera ke Belanda, Inggris, dan sebagainya. Opera Jawa kan didistribusikan di Internasional, saya bikin teaternya, ada filmnya, ada DVD nya. Jadi lebih konsen sama teater dan dongeng keliling.

Kedepannya ada rencana bikin film lagi?
Bikin generasi barulah. Kalau tahun 90 asisten saya kan Riri, Hanung, John de Rantau, kan sudah top lah! jadi sekarang bentuk generasi baru lagi. Supaya kalau kita berenang di air yang dalam itu kita lebih pinter renang lagi. Jadi harus tumbuh yang lebih bagus. Sambil kita jenuh ya kita berkarya terus.

Soal komunitas film di Indonesia?
Problem itu kan antara kualitas dan kuantitas. Pengajarnya terlalu cepat menjadi pengajar. Kita itu, demokratisasi tanpa pengetahuan dan keterampilannya gak dalam. Kalau anda lihat, film Indonesia juga sama aja, meriah. tapi sekarang yang bagus mana? Festival Cannes mana, ada film Indonesia? Gak ada. Di festival besar jarang ada film Indonesia. Jadi secara kualitas sedikit secara kuantitas banyak. Untuk saya mengecewakan. Jadi harus dibedakan kesuksesan sebuah kelompok dan kesuksesan seluruh film Indonesia. Dan pasar kita kan pasar tidak pasar film. Pasar agama, pasar yang beneran itu sebetulnya sangat rentan. Kualitasnya makin menurun.

Film yang berkualitas itu yang bagaimana?
Sesuai ambisinya (pembuat film). Standar nya macam-macam. Ada pada teknologi, karakterisasi, jurus baru menciptakan drama, segi tematik ada perubahan. Kita tuh jualan cuma tema toh, kuno betul menurut saya. Tema pun musiman.

Prediksi kedepan?
Sedikit yang bermutu. Kaya politik aja, banyak politikus tapi yang negarawan sedikit.

Kejenuhan tadi (kejenuhan dalam berkarya) bagaimana cara mengatasinya?
Itu biasa aja. Anda harus mencari reference, jalan-jalan, baca, lihat seni rupa, main teater, terus mencari pengalaman untuk dihidupkan lagi di film kan.

Kalau dilihat perkembangannya, film lama sama film saat ini, lebih bagus mana?
Kita lebih menghargai film tahun 80an. Suman dengan kritik kekiri-kiriannya. Sekarang komedi sama semua. Akhirnya film-film tahun 80 lebih mempesona untuk saya.

Mengikuti film Indonesia? Gimana menurut Anda?
Gak semua nonton, tapi mengikuti lah. Yang terakhir saya tonton itu Queen Bee. No comment kalau soal film Indonesia. Nanti banyak orang protes akalu saya kritik. Saya cuma bilang sedikit yang punya kualitas. Jadi kaya politik lah, rame tapi hanya kesan dan sensasi aja.

Soal masalah lembaga sensor gimana tuh?
Berani melawan aja lah. Maksudnya, kita memilih aja sistem pascasensor atau prasensor. Kalau prasensor kan hanya umur saja. Tetapi harus ada ganti rugi yang besar, supaya produsernya jera membikin film seenaknya. Kalau kita bikin sensor pun undang-undang lain harus diatur. Di Amerika sensor oleh pada produser sendiri. Lawan sensor itu dibutuhkan keberanian bukan hanya politik diplomatis. Sensor hanya pilihan sistem. Tingkatan umur juga sensor dengan sistem klasifikasi.

photo by : Bentang Waktu

read more......

Thursday 11 June 2009

Drag Me to Hell (2009)

5

Rupanya hari itu jadi hari terburuk bagi Christine Brown (Alison Lohman). Wanita berambut pirang yang bekerja di Bank ini harus melayani Mrs. Ganush (Lorna Raver), yang hendak meminjam uang untuk mempertahankan rumah tuanya. Karena Christine tidak mengabulkan permohonannya, Ganush merasa dirinya dipermalukan. Sejak itulah hidup Christine berubah. Ya! Nenek tua itu mengutuk Christine.

Kejadian-kejadian menyeramkan mulai terjadi pada Christine. Tapi, pacar Christine, Clay Dalton (Justin Long) terus menemaninya. Christine meminta bantuan penasehat spiritual untuk mengembalikan kehidupannya dan petualangan pun dimulai.

Thriller yang satu ini perlu diacungi jempol. Pengambilan gambarnya pas dan akting pemain juga sangat sangat pas. Tapi sayang, terkadang efek suaranya terlalu berlebihan. Mungkin untuk mendukung pemunculan si Ganush yang menyeramkan itu. Hehe.

Film ini berdurasi 2 jam 8 menit. Cukup membuat penonton berteriak karena pemunculan sosok Ganush memang menyeramkan. Nenek tua yang satu ini begitu powerful ketika menyerang Christine, terlebih dalam adegan perkelahian mereka di parkiran mobil. Kematian Christine di akhir cerita menjadi ending yang tak terduga sebelumnya. Penasaran? Tonton saja filmnya, dijamin jantung movielovers berdetak kencang! (link)

read more......

Saturday 6 June 2009

Event : 1stSceneFest

8

Beruntung buat movielovers yang lahir di era kebebasan seperti saat ini. Movielovers bisa bebas berpendapat, bebas mengapresiasi, dan yang pasti bebas berkarya. Seperti semangat yang diusung oleh salah satu kompetisi film documenter dan film fiksi, 1stSceneFest. Kompetisi yang digelar oleh Cinemaks, UKM cine klab di jurusan Kesejahteraan Sosial Unpad ini mengangkat tema tentang fenomena sosial. Sengaja disesuaikan dengan bidang kajian jurusan mereka. Kompetisi ini terdiri dari dua kategori, yaitu untuk pelajar dan umum.

“Kita juga ada peserta dari kine klab Atmajaya Jogja,” ungkap Bagas, Ketua Cinemaks.
Meski 1stSceneFest ini baru pertama kali digelar, namun antusias dari peserta sudah cukup menjanjikan.

Juri yang akan terlibat dalam penilaian kompetisi film documenter dan fiksi ini adalah Mbak Rani dari Kineruku, Mas Gustav dari Commonroom, dan Pak Herry Wibowo, dosen mata kuliah Psikologi di jurusan Kesejahteraan Sosial Unpad. Total hadiah yang diperebutkan sejumlah 1,5 juta. Hmm…lumayan juga tuh..sambil belajar bikin film sambil dapet duit juga hehe..


Buat movielovers yang mau lihat screeningnya, langsung aja dateng tanggal 11 Juni besok, jam 22.00 WIB di Korban Kopi, Jalan Raya Jatinangor. “Untuk screening kita kerja sama dengan Korban Kopi dan untuk awardnya kita adain di Gedung B301 FISIP Unpad.”

Cinemaks berharap dengan digelarnya 1stSceneFest ini dapat menambah pengalaman dan pengetahuan anggota Cinemaks dengan cara sharing dengan komunitas-komunitas lain. Saat ditanya rencana ke depan, Bagas berharap Cinemaks bisa melebarkan sayap ke tingkat nasional dan bisa menunjukkan pada masyarakat bahwa Jatinangor pun punya komunitas film yang aktif dan gak kalah dengan kine klab di Bandung. Wah..boleh juga nih semangatnya..

Dan buat movielovers yang gak keburu ikutan 1stSceneFest tahun ini…gak perlu khawatir karena 1stSceneFest bakal hadir setiap tahun, tentunya dengan tema dan nama yang berbeda. 2ndSceneFest mungkin? Yap, kita tunggu aja. Sukses buat Cinemaks!(achie)

read more......

OEROEG

15

Judul : Oeroeg
Sutradara : Hans Hylkema
Produksi : PT. Prasidi Teta Film
Penulis : Jean Van de Velde
Buku : Oeroeg
Genre : Drama
Pemeran : Rik Launspach dan Martin Schwab
Tahun Rilis : 1992
Durasi : 119 menit

Kisah tentang persahabatan antara anak Belanda pemilik perkebunan Kebon Jati, Johan (Rik Launspanch), dengan anak pribumi pegawai perkebunan, Oeroeg (Martin Schwab), yang tumbuh bersama di antara dua dunia yang saling bermusuhan. Johan lahir dan dibesarkan di Kebon Jati, ia tumbuh di dua lingkungan yang bertolak belakang. Dalam rumah dan sekolah yang dipenuhi dengan kemewahan dan aturan-aturan bangsanya, Belanda, dan di lingkungan perkebunan yang dipenuhi dengan kesengsaraan para jongos dan pribumi asli. Johan kecil masih terlalu muda untuk mengerti masalah penjajahan, rasialisme, kesengsaraan, dan kekuasaan. Ia hanya tahu bahwa tempat yang ia tinggali saat itu begitu asik untuk dipakai bermain.

Apalagi sejak kecil, Johan telah bersahabat dengan Oeroeg. Mereka seringkali menghabiskan waktu seharian untuk mandi di sungai, bernyanyi, memandikan kerbau, atau sekadar bermain dengan serangga dan kodok. Persahabatan dua anak manusia itu semakin lekat, meski ayah Johan seringkali tak setuju dengan alasan bahwa Oeroeg tak sederajat dengan mereka. Perbedaan Johan yang Belanda kulit putih dan Oeroeg yang pribumi sudah muncul sejak kecil.

Johan dan Oeroeg selalu berusaha untuk menghilangkan jarak itu, hingga akhirnya mereka beranjak remaja. Berkat kebaikan Lida, guru Johan waktu kecil, Oeroeg bisa mengenyam pendidikan sampai ke studi kedokterannya.

Namun, seiring mereka beranjak dewasa, sekeras apapun mereka berusaha menghilangkan jarak itu, tetap saja jarak itu tak bisa hilang. Keadaan semakin berubah ketika Oeroeg merasakan bahwa dirinya terperangkap pada kebimbangan. Begitu juga dengan Johan yang akhirnya memutuskan untuk berlatih militer di Belanda setelah menyelesaikan studinya.

Film ini dikemas dengan alur yang maju-mundur, menampilkan ingatan dari sudut pandang Johan terhadap negeri yang selalu hidup dalam kenangannya itu. Sepanjang film, sutradara Hans Hylkema bersikap tidak memihak pada permusuhan dua bangsa ini.
Kekejaman perang dari masing-masing pihak ditunjukkan. Ia lebih memihak pada persahabatan dua manusia yang hancur karena nasib yang membuat mereka berbeda.

Ya, layaknya kisah Romeo dan Juliet versi persahabatan. Meski tergolong drama, sisi perjuangannya tetep kerasa kental, patut ditonton nih movielovers..sambil nonton, sambil belajar sejarah juga. Why not? (achie)

read more......

Kine-Aleut : Belajar Sejarah Lewat Film

8

Satu lagi komunitas anak muda di Bandung yang belajar untuk mengapresiasi film. Ya, Klab Aleut, merupakan komunitas apresiasi sejarah yang mengajak kalangan muda untuk belajar sejarah dan budaya dengan cara yang menyenangkan. Salah satunya belajar sejarah lewat film. Kegiatan tersebut mereka namai Kine-Aleut.
Kine-Aleut adalah salah satu media untuk belajar sejarah dengan cara mengapresiasi film. Para pegiatnya (panggilan buat anggotanya) sengaja diberi film-film yang memuat sisi-sisi dan nilai sejarah. Nah, setelah menonton pegiat harus mengapresiasi film tersebut. Jangan salah movielovers, gak selamanya film yang dipertontonkan adalah film-film lama, karena menurut M. Ryzki Wiryawan, Koordinator Klab Aleut, film-film sekarang juga seringkali ditampilkan.

“Asalkan tetap ada unsur dan nilai sejarah yang bisa diapresiasi dan gak bakalan bisa di dapat di buku-buku atau media lain. Kita bisa belajar sejarah dari settingnya atau alur ceritanya,” kata Ryzki saat Popcorn temui di sela acara Kine-Aleut.
Kine-Aleut merupakan salah satu kegiatan yang rutin diadakan setiap satu bulan sekali. Tema film biasanya disesuaikan dengan tema jalan-jalan mereka.
“Kalau tema jalan-jalan kita tentang masa kolonial, berarti film yang ditonton juga film dengan tema kolonial.”

Film yang ditampilkan pastinya adalah film-film yang sudah dipilih. Menurut Ryzki film yang terpilih dinilai dan dilihat dari kontennya.
Tahu gak movielovers? Kine-Aleut ini punya format gaya nonton yang asik, yaitu dengan gaya misbar alias gerimis bubar (layar tancep), tapi terkadang mereka juga biasa menonton lewat TV biasa.
Buat movielovers yang pengen gabung menonton juga boleh lho. Soalnya Kine-Aleut ini terbuka buat umum dan yang penting nih gratis! Haha..
“Semua yang nonton boleh langsung dateng ajah ke Sumur Bandung sekre Klab Aleut, boleh bawa temen-temennya juga,” tambah Ryzki.
Dengan Kine-Aleut ini, Rizky dan teman-teman Klab Aleut berharap agar anak-anak muda saat ini bisa lebih mengapresiasi dan menghargai sejarah lewat media yang populer, salah satunya lewat film.
“Sejauh ini antusias pegiat dan masyarakat umum yang gabung di Kine-Aleut sudah cukup besar,” pungkas Ryzki.(achie)

Gimana menurut mereka ?


Ebi (18 tahun), Pegita Klab Aleut
“Kine-Aleut ini bagus, biar kita juga gak jenuh.”


Rani W. A. (18 tahun), Pegiat Klab Aleut
“Bagus, tapi kalau bisa sih filmnya jangan yang terlalu berat.”

Elgy (23), Pegiat Klab Aleut
“Seru, tapi saya lebih suka film documenter dibanding film fiksi.”



read more......

Night At The Museum 2: Battle of The Smithsonian

14

Hanya ada satu kata yang terlintas di benak popcorn saat keluar dari studio bioskop, puas. Puas ketawa, puas nontonnya, dan puas berimajinasi. Ya, Night At The Museum 2: Battle of The Smithsonian, film yang popcorn dan mungkin juga movielovers tunggu-tunggu akhirnya datang juga ke Indonesia. Lewat akting dan lelucon khas Ben Stiller, film karya sutradara Shawn Levy ini berhasil menampilkan unsur komedi yang lebih kuat dibanding film pertamanya, Night At The Museum.

Kisah ini berawal saat Museum of Natural History ditutup sementara untuk renovasi. Koleksi benda-benda bersejarah yang dipajang di dalamnya pun dipindahkan ke sebuah komplek museum terbesar di dunia, Smithsonian, di Washington DC. Kekacauan besar pun terjadi. Masalah bermula saat monyet Capuchin mencuri tablet peninggalan Mesir Kuno ke Smithsonian. Tablet ajaib itu pun otomatis ‘membangunkan’ ratusan koleksi di Smithsonian, termasuk Kahmunrah (Hank Albert Azaria), kakak Akhmenra yang selama ini mendambakan tablet ajaib itu. Dengan tablet itu Kahmunrah akan mewujudkan cita-citanya yang sudah ia tunggu selama jutaan tahun, yaitu menguasai dunia. Selain dapat menggerakan semua barang koleksi yang ada di museum, tablet milik Akhmenra itu juga dapat membuka pintu neraka.

Tapi rencana itu segera dihentikan oleh Larry Daley (Ben Stiller) seorang mantan penjaga museum, yang sekarang telah sukses menjadi CEO dari Daley Devices. Ia datang untuk menyelamatkan teman-temannya dengan merebut kembali tablet Akhmenra. Tapi Larry tak sendiri dalam menyelesaikan petualangannya karena ia ditemani salah satu koleksi museum, Amelia Earhart (Amy Adams), seorang pilot wanita pertama yang terbang melewati Samudra Atlantis.



Dan tahu gak movielovers ? Di tengah cerita kita juga akan dikejutkan dengan kehadiran tokoh-tokoh dunia yang menjadi tokoh baru dalam film ini. Seperti Christopher Columbus, Napoleon Bonaparte, dan Al Capone. Tak hanya itu, tokoh-tokoh fiktif seperti Dart Vader “Star Wars” dan Oscar the Grounch “Sesame Street” juga ikut acting dalam film ini !
Buat movielovers yang belum nonton film pertamanya gak perlu khawatir, karena film ini gampang diikutin kisahnya. Film yang diadaptasi dari buku karya Milan Trenc ini berhasil menghidupkan imajinasi penontonnya. Selain itu movielovers, film ini juga bikin Popcorn semakin ngebet untuk mengunjungi Museum of Natural History dan Smithsonian di Washington DC. Hmmm…kapan ya? (achie)

read more......

Friday 5 June 2009

Tarlen Handayani : Film Sebagai Sebuah Kajian Budaya

5

Sore itu, POPCORN berkunjung ke sebuah rumah mungil di Jalan Aceh No. 56 Bandung untuk menonton film. ya! Klab Nonton Tobucil & Klabs saat itu sedang melaksanakan kegiatan rutinnya yaitu mengadakan pemutaran film. Film yang sedang diputar adalah film dokumenter yang wajib ditonton oleh para penikmat musik metal, judulnya "Metal: A Headbeangers Journey". Belum pernah denger kan? Film-film yang diputar disini memang bukan film-film populer. Mungkin itu sebabnya Klab Nonton ini hanya dihadiri oleh belasan orang saja. Disela-sela pemutaran, kami mendapat kesempatan berbincang-bincang seputar film dengan Mbak Tarlen Handayani, program director dari Tobucil & Klabs yang juga lulusan Jurnalistik Unisba ini.

Mari kita simak petikannya.

Bagaimana awal terbentuknya Klab Nonton di Tobucil?
Klab nonton awalnya dari kesukaan orang-orang yang ada di Tobucil terhadap film. Kita dulu kan sering jadi partner programnya Jiffest untuk program travelling. Mereka bawa film-film Jiffest, trus diputer keliling di Bandung. Akhirnya itu jadi kegiatan rutin, tujuan sih sebenarnya untuk mengapresiasi film-film yang menurut pilihan kita memang layak untuk ditonton. Recommended lah!

Terbentuk resminya kapan? Soal Tobucil sendiri?
Cikal bakalnya tahun 2002. Kalau Tobucilnya tahun 2001. Tobucil sendiri toko buku berbasis komunitas. Banyak kegiatan komunitasnya. Si toko bukunya hanya sebagai pintu masuk aja.

Siapa yang mendirikan Tobucil dan Klab nonton ini?
Kalo tobucil pendirinya saya. Kalau Klab Nonton kebetulan inisiatifnya datang dari saya. kebanyakan film-filmnya juga dipilih oleh saya. Tahun ini kita punya Setaun tiga kali, cinema politica, satu organisasi film di Kanada yang khusus menampung film-film dokumenter dari seluruh dunia. Jadi kita bisa memutar film yang dipilih oleh dia. Di Indonesia kan ada programmer Indonesia. Jadi dia mengkurasi film apa yang bisa diputer.

Selain itu? Dapet filmnya dari mana?
Koleksi pribadi, emang saya senang berburu film jadi kalo pas lagi keluar biasanya saya nyari film, saya nitip film atau nyari di toko-toko setempat. Dimana aja sih sumbernya, bisa juga ngopi dari temen yang punya film bagus.

Cara milih tema film?
Tergantung dari konteks, April lingkungan kan emang ada hari bumi. Terus kalau sekarang ada film-film yang sama berdasarkan tema cerita. Saya lebih seneng berdasarkan tema cerita.

Seleksi filmnya seperti apa?
Ada pertimbangannya, saya juga mempelajari wacana seputar dunia perfilman. Metal Headbanger ini contohnya. Ini tuh film termasuk film dokumenter antropologi tentang kultur heavy metal. Kalo misalnya orang ingin tahu soal heavy metal, film ini menjadi film yang wajib ditonton. Jadi karena tujuan tobucil itu kan mendukung literasi movement, orang menggemari sesuatu kalau dia tahu sejarah di belakangnya dia akan lebih mengerti kenapa dia suka, jadi bukan kesukaan yang buta.

Soal kepungurusan?
Disini ada koordinator klab, namanya Wiku yang memastikan semua program berjalan sesuai agenda. Program directornya saya, termasuk yang milih film jadi tanggung jawab bersama. Yang penting kan kurator dan operator.

Sejauh ini, peminatnya bagaimana?
Nggak bisa diprediksi, di facebook confirm 200 orang tapi yang datang sedikit, jadi gak bisa diandalkan juga. Yang penting, risiko ketika saya memberikan film-film yang tidak popular.

Itu jadi sebuah cerminan kesadaran masyarakat kita nggak sih?
Males aja kalau saya liat. Mereka ingin tahu tentang banyak hal tapi malas untuk mencari. Kesadaran untuk mencari, datang, berkorbanlah, kalau dia pengen tahu sesuatu dia harus meluangkan waktu, mungkin masih sebatas niat, belum sampai ke tindakan. Kadang juga ada yang bela-belain datang dari Jakarta.

Soal link di Jakarta?
Kita punya banyak teman dari komunitas film, kaya dari konfiden, Jiffest, Boemboe, dan Kineruku.

Sebenarnya film favorit Anda? Sebuah film bisa dikatakan bagus menurut Anda seperti apa?
Yang setelah saya nonton saya terganggu. Saya jadi kepikiran, kenapa tokohnya kaya gitu. Atau ceritanya sangat menyentuh. Atau saya tonton berkali dan terus menerus merasa terganggu. Saya suka Alehandro, Amores Peros, sutradara turunan Serbia Emir Kusturika, Arizona Dreams sama Underground tentang perang bosnia dari sudut pandang seorang oportunis. Kalau yang baru, There Will Be Blood saya suka banget, karena menurut saya itu cerita yang sangat berat. Bercerita tentang kerakusan dan bagaimana agama seringkali diatasnamakan untuk orang menjadi rakus.

Kalau dari periodisasi waktu, lebih seneng film lama atau film baru?
Saya mulai intens menonton mulai 6 tahun yang lalu, 90an sampai kesinilah, kalau dokumenter sengaja saya cari kalau tema-temanya menarik, kaya biografi Fidel Castro. Saya juga termasuk yang ngumpulin dokumenter musik dan biografi seniman.

Itu jadi perpustakaan di rumah?
Ya, si rumah ada sekitar 1500 film. Saya gak mau minjemin film, karena kapok.

Tentang film Indonesia?
Nggak tahu yah, bukannya underestimate, tapi saya merasa belum banyak sutradara yang menggangu saya dengan karyanya, jadi masih biasa.

Apa yang Anda ambil dari sebuah film?
Kenapa saya lebih menyukai film drama daripada science fiction, menurut saya itu tuh simulasi kehidupan. Saya bisa belajar banyak tentang bagaimana seseorang bereaksi terhadap suatu masalah. Kemungkinan-kemungkinan ekspresi manusia. Itu kan menarik. Itu sebabnya saya tidak membatasi diri untuk menonton film. Semua film saya tonton. Kecuali film india. Sangat milih soal film India. Kita bisa melihat budaya mereka tercermin dari cara mengekspresikan diri lewat film. Saya menjadikan film sebagai sebuah kajian budaya. Jadi yang paling senang dari sebuah film adalah mencermati hal-hal seperti itunya. Kalau kita menulis itu sangat membantu untuk visualisasi. Kemungkinan ekspresi, bahwa marah tidak harus dengan teriak-teriak. Dia biasa menjadi karakter, sesuai dengan apa yang diinginkan sutradara. Dia kemampuan akting yang baik, dan saya belum menemukan actor seperti itu di Indonesia.

Tampaknya film Indonesia masih sangat jauh dari harapan?
Mungkin karena saya kebanyakan film nonton luar, jadi harapan terhadap film Indonesia itu tinggi. Saya lebih milih nonton film dokumenter. Karena memang perlu didukung, banyak hal menarik di Indonesia yang sangat perlu didokumentasikan. Tahun 2005 saya sama yang punya Rumah Buku membuat film dokumenter Gamang Kromo. Bagaimana budaya Cina dan Betawi berakulturasi. Bukan orang betawi, yang pertama memainkannya adalah orang Cina di Betawi.

Yang bikin lama apanya?
Risetnya dan pemilihan waktu. Jadi waktunya menyesuaikan dengan mereka, karena ini kan dokumenter. Alami aja. Itu mah sebentar. Ngambil gambar cuma sebentar. Bagaimana kamu menampilkan realitas dan aktualitas. Dan itu akan jadi sangat berbeda feature jurnalistik dan dokumenter. Mempertimbangkan faktor-faktor antropologisnya. Yang penting itu adalah di meja itu ada apa aja, perangkat ritualnya ada apa aja. Tapi kalau buat orang jurnalistik catatan yang pentingnya adalah detail. Makanya di awal perlu apakah ini akan menjadi sebuah film feature atau dokumenter etnografi. Etnografi juga mau bermain di wilayah yang ketat atau mau yang gak terlalu ketat. Film sebagai medium, sama dengan tulisan, yang paling penting adalah kerangka berpikirnya, cara kita membedah mau pake pisau bedah yang mana. Film kan bahasa visual, jadi kita harus paham bahasa visual.

Bagaimana cara menggiring penonton agar sama dengan si filmmaker?
Kita harus sadar bahwa hal itu tidak bisa dilakukan. Yang bisa kamu tampilkan adalah mendekati objektivitas. Tidak pernah ada objektivitas 100% tapi tetep aja kita memilih kata-kata. Itu sangat ditentukan oleh cara melihat si wartawannya. Apalagi film, editing juga berpengaruh. Kamu dibatasi oleh durasi waktu, lalu disitu yang berperan adalah editor yang kemudian membingkai peristiwanya. Prinsip-prinsip dasar seperti itu lah yang harus dipahami.(link)

untuk informasi lebih lanjut mengenai Tobucil & Klabs klik disini

read more......

Yes Man (2008)

12

“Say yes to everything and anything!” itulah yang dilakukan Carl Allen (Jim Carrey). Kata itu seakan membawanya ke dalam sebuah petualangan yang menggelikan. Ia mengikuti sebuah seminar motivator dia berjanji untuk selalu berkata ya terhadap apapun dan siapapun. Even, ia harus mengantarkan seorang tunawisma ke atas bukit, meminjamkan handphone sampai baterainya habis dan memberikan seluruh uangnya.

Awalnya apa yang Carl lakukan memang berbuah hal-hal yang menakjubkan. Tapi, tentu saja tidak semua hal bisa di-iya-kan oleh Carl. Ia tetap saja untuk berkata ya terhadap semuanya. Alhasil, banyak hal dilakukan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ya! Dia menganggap janji nya itu tidak bisa dilanggar, ia sangat percaya kepada Terrence Bundley yang mengatakan, jika ia berkata ‘tidak’ ia akan ditimpa masalah. Ternyata apa yang dikatakan oleh sang motivator tidak dimengerti benar oleh Carl.

Film ini sangatlah menghibur. Ide ceritanya unik dan menarik. Bayangkan jika semua yang keluar dari mulut kita adalah Ya. Dirampok? Ya! Dimanfaatkan orang tidak dikenal? Ya! Semua saja iya, kan nggak mungkin!

Apalagi Carl bekerja di perusahaan kredit usaha, semua usaha yang diajukan ia setujui. Belum lagi, Stephanie, mantan istrinya. Ia meminta Carl untuk menginap di rumahnya padahal Carl telah menyukai Allison (Zooey Deschanel). Sepanjang film kita akan menyaksikan petualangan seru dari Jim Carrey. Aktor yang satu ini memang pas untuk memerankan tokoh Carl Allen yang konyol, kocak, dan sedikit tidak masuk akal.

Film ini termasuk salah satu film yang worth to watch. Jadi tunggu apalagi, kalau kamu bingung ngisi liburan kamu, film ini pantas kamu tonton kok! have a nice weekend, everybody! (link)

read more......

Thursday 4 June 2009

The Twilight Saga : New Moon (2009)

9



siap-siap untuk mara movilovers pecinta Edward Cullen! ya! sequel kedua film adaptasi ini, akan release 20 November mendatang. cukup lama memang! tapi, jangan khawatir. kita nikmatin aja dulu trailernya.(link)


read more......

Wednesday 3 June 2009

Perjalanan Bioskop di Bandung: Dari ‘Tenda’ ke ‘Gedung’

12

Beruntunglah buat movielovers yang lahir pada abad ini. Mau nonton bioskop? Akses mudah dan kualitasnya juga kenyamanan pun terjamin. Tinggal duduk santai di atas sofa nyaman, diiringi dengan sound yang oke, dan gak perlu kipas-kipas kalau kepanasan karena sudah tersedia AC. Ya, keadaannya jauh berbeda dengan masa eyang-buyut kita dulu.

Saat munculnya film dan bioskop di awal abad ke 20, keberadaannya memang sudah dianggap sebagai bukti modernitas dunia hiburan saat itu. Semua orang terkagum-kagum melihat ‘keajaiban jaman’ tersebut. Ada gambar bisa hidup! Berkat Helant dan Michael, pendiri bioskop pertama di Bandung, demam film ini sampai juga ke Kota Bandung tahun 1907. Bioskop yang pertama berdiri di Bandung adalah De Crown Bioscoop dan Oranje Bioscoop, lokasi keduanya berada di Alun-alun Bandung. Meskipun saat itu bangunan bioskop masih berupa tenda semipermanen dan lantainya hanya dilapisi tikar, namun tenda-tenda tersebut tak pernah sepi umbul-umbul dan dekorasi bendera. Antusiasme warga Bandung pada film saat itu begitu meriah.

Mungkin salah satu alasan bagi movielovers memilih nonton film di bioskop adalah karena faktor soundnya. Apalagi kalau nonton film action atau horor, gak seru juga kalau cuma nonton lewat DVD di kamar sendiri. Nah, buat eyang-buyut kita dulu, urusan sound gak jadi masalah. Bahkan mereka rela menonton tanpa suara alias bisu. Karena semua film yang diputar pada masa itu memang masih bisu, hanya berupa gambar yang hidup saja. Makannya disebut sebagai era film-bisu. Tapi mereka gak kecewa karena pemilik bioskop tempo itu punya ide untuk menyiasatinya, yaitu dengan menyediakan orgel untuk mengiringi gambar-gambar bisu yang ditampilkan. Bahkan untuk mengatasi ‘kebisuan’ dibutuhkan pula seorang komentator yang tugasnya mengomentari adegan-adegan yang muncul di layar proyeksi. Hmm..nonton bisokop kok jadi kayak nonton wayang ya?

Dan ternyata nih movielovers, rasialisme saat itu memang lagi gencar-gencarnya. Sampai-sampai ruang pertunjukkan pun dibagi menjadi beberapa kelas dan tentunya dengan harga karcis yang berbeda pula. Karcis kelas I diperuntukkan bagi orang Eropa atau pribumi menak, kelas II untuk kalangan Timur asing atau pribumi menengah, dan kelas III atau IV untuk kalangan menengah ke bawah. Tapi…kalau mau yang lebih murah lagi, Feesterrein alias taman hiburan rakyat bisa jadi pilihan buat mencari hiburan. Maklum saja, saat itu sarana hiburan masih sangat langka. Jadi, meskipun gerimis atau hujan sekalipun bagi mereka gak masalah dan pertunjukkan pun akan tetap berlangsung.


Pada akhir 1910, bioskop-bioskop di Bandung mulai beralih ke bangunan permanen yang dirancang khusus sebagai gedung bioskop. Pertengahan 1920, dibangun Concordia Bioscoop yang saat ini kita kenal sebagai gedung AACC. Concordia merupakan bioskop paling elit di Bandung karena menggunakan standar bioskop Eropa. Film-film yang diputar saat itu diantaranya film Zigomar buatan Prancis, Kathleen buatan Inggris, dan Liberty buatan Hollywood. Film yang paling disukai anak-anak adalah film Zorro dan Tarzan. Nah, dalam perjalanan sejarah gambar hidup, jenis film yang paling digemari penonton (termasuk Bung Karno dan Presiden Kennedy) adalah cerita cowboy seperti Zigomar.

Berbeda dengan dulu, kehadiran bioskop saat ini memang tidak seramai dan semeriah dulu. Keberadaan bioskop sekarang tidak lagi dapat dilihat dari gedungnya yang berdiri sendiri. Bioskop yang ada saat ini lebih senang ‘bersembunyi’ di balik nama besar sebuah mall, plaza atau pusat perbelanjaan, menyusup, menyatu, dan menjadi bagian darinya.(achie)


Sumber
www.klabaleut.multiply.com
Kunto, Haryoto, Bandoeng Tempoe Doeloe, Granesia, Bandung, 1984.

read more......

Sang Penguasa Bioskop Indonesia

7

Siapa yang tak kenal angka 21. Bagi movielovers yang setiap minggu berkunjung ke bioskop, pasti angka ini sudah tak asing lagi. Ya, angka 21 memang identik dengan icon sebuah merk jaringan bioskop di Indonesia. Jaringan bioskop raksasa di Indonesia, Cineplex 21.

“Cineplex 21 adalah jaringan bioskop terbesar di Indonesia. Bioskop ini tersedia di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan,” ungkap Subekti H., manajer Cineplex Bandung, saat ditemui di kantor pusat Cineplex 21 Bandung, Jalan Gajah, Bandung.

Salah satu alasan yang membedakan Cineplex 21 dengan bioskop lainnya adalah bahwa bioskop 21 sebagian besar sudah dilengkapi teknologi tercanggih, seperti tata suara Dolby Digital, THX, dan lainnya.

Bersamaan dengan teknologi yang semakin berkembang, jaringan Cineplex 21 juga ikut mengembangkan inovasi terbarunya, yaitu Cinema XXI.

“Cinema XXI ditujukan untuk kalangan menengah ke atas dilengkapi dengan interior dan fasilitas paling modern,” ujar Subekti.

Bioskop XXI pertama di Indonesia dibuka di Plaza Indonesia Entertainment Xnter Jakarta tahun 2003 lalu. Sementara itu, kehadiran XXI di Bandung juga dibuka di Cihampelas Walk yang didirikan tahun 2007 lalu. Ada pula bioskop 21 yang diubah menjadi XXI, seperti 21 BSM menjadi XXI. Beberapa tahun mendatang seluruh bioskop 21 akan diubah menjadi XXI sebagai upaya remodernisasi.

Buat movielovers yang mau nonton sama pasangannya gak perlu khawatir karena jaringan 21 dan XXI bekerjasama dengan beberapa bank di Indonesia menerapkan sistem Buy one get one Free bagi pengguna kartu kredit bank-bank bersangkutan. Dan buat movielovers yang keburu beli tiket di tempat juga gak perlu khawatir karena Cineplex 21 juga sudah meluncurkan sistem mobile ticketing (MtiX) untuk pemesanan tiket melalui SMS. (achie)

Cineplex 21 dan XXI di Kota Bandung:
BIP (Lt.3)
Jalan Merdeka 56
022-4240719

Braga City Walk (Lt.2)
Jalan Braga 99-101
022-844 60121

BSM XXI (Lt.3)
Jalan Jend. Gatot Subroto
022-910 1121

CIWALK 21 dan CIWALK XXI (Lt.3)
Jalan Cihampelas 160
022-206 1121

GALAXY
Jalan Kepatihan
022-420 8143

JATOS
Jalan Raya Jatinangor 150
022-879 20089

NUSANTARA
Jalan Alun-alun Timur 3-7
022-4237 040
REGENT
Jalan Sumatra 2
022-423 6370


read more......

Monday 1 June 2009

coming up : ketika cinta bertasbih

2



Film yang diangkat dari novel karya Habibburahman El Shirazy ini bercerita tentang Azzam (M. Cholidi Asadil Alam), seorang mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas Al Azhar Kairo-Mesir. Setelah ayahnya meninggal dunia, ia berdagang bakso dan tempe demi menghidupi keluarganya di Solo. Karena pekerjaannya itulah, ia menjadi terkenal dan ia bertemu dengan Eliana (Alice Norin), gadis cantik-modern, putri Dubes RI di Mesir.

Film ini dibintangi oleh artis senior seperti Deddy Mizwar, Didi Petet, Slamet Rahardjo, Ninik L Karim, Nungki Kusumastuti, dan juga sastrawan-Taufik Ismail. Melly Goeslaw dan Anto Hoed mengisi ilustrasi musik. Krisdayanti tak kalah tampil sebagai salah satu pengisi album soundtrack film Ketika Cinta Bertasbih.

Kabarnya, film ini salah satu film yang ditunggu penonton. Jadi, nantikan filmnya di bioskop 11 Juni mendatang. (link)

official website of Ketika Cinta Bertasbih click here

read more......

Tuck Everlasting (2002)

0

Kisah dongeng klasik keluarga Tucks memang membuat film karya Jay Russell ini semakin dramatis dan romantis. Tuck Everlasting adalah adaptasi kedua dari novel karangan Natalie Babbitt. Kisah ini bermula dari sebuah keluarga Tucks yang memiliki sumber mata air suci. Dipercaya dapat membuat sang peminumnya hidup abadi. Hal ini menjadi sebuah tradisi bagi keluarga Tucks untuk meminum dan menjaganya.

Karena mereka takut rahasia sumber mata air suci ini diketahui oleh orang yang tidak bertanggung jawab, maka keluarga Tucks memutuskan untuk hidup di dalam hutan. Di lain sisi, hiduplah gadis 15 tahun bernama Winnie (Alexis Bledel) yang hidup dikelilingi oleh pengekangan dari kedua orang tuanya. Ia pun berusaha melarikan diri dari rumah untuk melihat dunia luar yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Dalam perjalanannya di hutan, ia bertemu dengan keluarga Tucks dan mulai belajar tradisi keluarga tersebut.

Mereka khawatir Winnie akan membocorkan rahasia mata air suci itu. Keluarga Tucks pun memutuskan merawat Winnie untuk sementara. Mulai saat itulah Winnie merasakan kebebasan, kebahagiaan sebuah keluarga , dan rasa memiliki. Tanpa ia sadari, ia mulai jatuh cinta pada Jesse (William Hurt), salah satu anak keluarga Tucks. Dan ini menjadi pilihan sulit bagi keduanya, terutama bagi Jesse yang harus memutuskan kehidupan abadi ataukah ia harus mati suatu saat nanti.
Kisah cinta mereka ternyata gak semulus yang movielovers duga. Seperti halnya kisah dongeng kebanyakan yang selalu berakhir bahagia. Film berdurasi 88 menit ini menyuguhkan konsep love story dan immortality yang menarik. Ditambah pemandangan hutan jaman dulu yang terkesan apik. Bikin movielovers yang nontonya gak bakal ngerasa bosen apalagi kebingungan karena slow-pacing film ini bikin movielovers dapat mencerna pesan dengan mudah.
Film ini gak akan pernah basi walau sudah diproduksi 6 tahun yang lalu. Buat movielovers pecinta film drama romantis, wajib ditonton nih..

read more......

The Pianist (2002)

0

Film karya sutradara Roman Polanski ini diinspirasi dari sebuah memoir karangan Wladyslaw Spilzman, seorang pianis Yahudi Polandia. Film ini menceritakan perjuangan seorang musisi terkenal untuk bertahan hidup di masa peperangan Nazi. Wladyslaw (Andrien Brody) adalah pianis terkenal yang juga bekerja di radio Polandia. Di tahun 1939, radio tempat ia bekerja di bom oleh serangan Nazi. Ia menyadari, bendera perang Inggris dan Perancis telah berkibar untuk Jerman. Ia memutuskan pulang ke kampungnya dan berusaha menemui keluarganya.

Dan di tahun 1940, Nazi menyerang perkampungan Yahudi di Warsawa, kelaparan, terror, dan kematian pun mereka hadapi. Bahkan sebagian dari mereka dikirim ke kamp konsentrasi. Beruntung bagi Wladyslaw, berkat bantuan seorang perwira Jerman ia bisa selamat dari incaran sweeping.

Sejak itulah ia terpisah dari keluarganya dan perjuangannya untuk bertahan hidup seorang diri pun dimulai. Dalam persembunyiannya, ia menyaksikan banyak tindak kekejaman yang dilakukan pasukan Schutzstaffel.

Di akhir film movielovers akan dimanjakan oleh penampilan Wladyslaw Spilzman dalam konsernya di Warsawa yang membawakan lagu Chopin-Grande Pollonaise Briliante in E flat major. Film yang berhasil menyabet dua penghargaan ini, Palme d'Or di Festival Film Cannes dan Penghargaan Oscar, jadi salah satu film wajib tonton pilihan Popcorn bulan ini. Selain ceritanya based on a true story, film ini juga memuat nilai sejarah yang dikemas secara menarik. Sambil nonton, sambil belajar sejarah…wah wajib dicoba tuh movielovers!

read more......

recent post

recent comments

popcorn