Friday 12 June 2009

Garin Nugroho : Jenuh di Film

0

NAMA GARIN NUGROHO di dunia perfilman tampaknya sudah tidak asing lagi. Opera Jawa yang digarapnya telah merambah dunia Internasional. Garin yang juga seorang anggota Dewan Pers ini tidak semata-mata meninggalkan dunia film. Saat ini, Ia sibuk mencari pengalaman untuk menghidupkan kembali spirit berfilmnya dengan bermain teater, jalan-jalan, dan kegiatan lainnya. Selasa (9/6) lalu, POPCORN mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Mas Garin mengenai beberapa hal. Ya, sekedar ngobrol-ngobrol ringan, tapi semoga bisa menginspirasi movielovers semua ya.. OK, ini dia petikannya.

Lagi sibuk apa nih?

Jenuh di film. Kemarin banyak produksi film Opera Jawa. Orang kan kalau jenuh harus berhenti. Walaupun ditawari film paling laris di muka bumi ya berhenti aja. Sekarang opera Jawa dibikin teater untuk opera ke Belanda, Inggris, dan sebagainya. Opera Jawa kan didistribusikan di Internasional, saya bikin teaternya, ada filmnya, ada DVD nya. Jadi lebih konsen sama teater dan dongeng keliling.

Kedepannya ada rencana bikin film lagi?
Bikin generasi barulah. Kalau tahun 90 asisten saya kan Riri, Hanung, John de Rantau, kan sudah top lah! jadi sekarang bentuk generasi baru lagi. Supaya kalau kita berenang di air yang dalam itu kita lebih pinter renang lagi. Jadi harus tumbuh yang lebih bagus. Sambil kita jenuh ya kita berkarya terus.

Soal komunitas film di Indonesia?
Problem itu kan antara kualitas dan kuantitas. Pengajarnya terlalu cepat menjadi pengajar. Kita itu, demokratisasi tanpa pengetahuan dan keterampilannya gak dalam. Kalau anda lihat, film Indonesia juga sama aja, meriah. tapi sekarang yang bagus mana? Festival Cannes mana, ada film Indonesia? Gak ada. Di festival besar jarang ada film Indonesia. Jadi secara kualitas sedikit secara kuantitas banyak. Untuk saya mengecewakan. Jadi harus dibedakan kesuksesan sebuah kelompok dan kesuksesan seluruh film Indonesia. Dan pasar kita kan pasar tidak pasar film. Pasar agama, pasar yang beneran itu sebetulnya sangat rentan. Kualitasnya makin menurun.

Film yang berkualitas itu yang bagaimana?
Sesuai ambisinya (pembuat film). Standar nya macam-macam. Ada pada teknologi, karakterisasi, jurus baru menciptakan drama, segi tematik ada perubahan. Kita tuh jualan cuma tema toh, kuno betul menurut saya. Tema pun musiman.

Prediksi kedepan?
Sedikit yang bermutu. Kaya politik aja, banyak politikus tapi yang negarawan sedikit.

Kejenuhan tadi (kejenuhan dalam berkarya) bagaimana cara mengatasinya?
Itu biasa aja. Anda harus mencari reference, jalan-jalan, baca, lihat seni rupa, main teater, terus mencari pengalaman untuk dihidupkan lagi di film kan.

Kalau dilihat perkembangannya, film lama sama film saat ini, lebih bagus mana?
Kita lebih menghargai film tahun 80an. Suman dengan kritik kekiri-kiriannya. Sekarang komedi sama semua. Akhirnya film-film tahun 80 lebih mempesona untuk saya.

Mengikuti film Indonesia? Gimana menurut Anda?
Gak semua nonton, tapi mengikuti lah. Yang terakhir saya tonton itu Queen Bee. No comment kalau soal film Indonesia. Nanti banyak orang protes akalu saya kritik. Saya cuma bilang sedikit yang punya kualitas. Jadi kaya politik lah, rame tapi hanya kesan dan sensasi aja.

Soal masalah lembaga sensor gimana tuh?
Berani melawan aja lah. Maksudnya, kita memilih aja sistem pascasensor atau prasensor. Kalau prasensor kan hanya umur saja. Tetapi harus ada ganti rugi yang besar, supaya produsernya jera membikin film seenaknya. Kalau kita bikin sensor pun undang-undang lain harus diatur. Di Amerika sensor oleh pada produser sendiri. Lawan sensor itu dibutuhkan keberanian bukan hanya politik diplomatis. Sensor hanya pilihan sistem. Tingkatan umur juga sensor dengan sistem klasifikasi.

photo by : Bentang Waktu

0 comments:

Post a Comment

recent post

recent comments

popcorn