Tarlen Handayani : Film Sebagai Sebuah Kajian Budaya
5
Sore itu, POPCORN berkunjung ke sebuah rumah mungil di Jalan Aceh No. 56 Bandung untuk menonton film. ya! Klab Nonton Tobucil & Klabs saat itu sedang melaksanakan kegiatan rutinnya yaitu mengadakan pemutaran film. Film yang sedang diputar adalah film dokumenter yang wajib ditonton oleh para penikmat musik metal, judulnya "Metal: A Headbeangers Journey". Belum pernah denger kan? Film-film yang diputar disini memang bukan film-film populer. Mungkin itu sebabnya Klab Nonton ini hanya dihadiri oleh belasan orang saja. Disela-sela pemutaran, kami mendapat kesempatan berbincang-bincang seputar film dengan Mbak Tarlen Handayani, program director dari Tobucil & Klabs yang juga lulusan Jurnalistik Unisba ini.
Mari kita simak petikannya.
Bagaimana awal terbentuknya Klab Nonton di Tobucil?
Klab nonton awalnya dari kesukaan orang-orang yang ada di Tobucil terhadap film. Kita dulu kan sering jadi partner programnya Jiffest untuk program travelling. Mereka bawa film-film Jiffest, trus diputer keliling di Bandung. Akhirnya itu jadi kegiatan rutin, tujuan sih sebenarnya untuk mengapresiasi film-film yang menurut pilihan kita memang layak untuk ditonton. Recommended lah!
Terbentuk resminya kapan? Soal Tobucil sendiri?
Cikal bakalnya tahun 2002. Kalau Tobucilnya tahun 2001. Tobucil sendiri toko buku berbasis komunitas. Banyak kegiatan komunitasnya. Si toko bukunya hanya sebagai pintu masuk aja.
Siapa yang mendirikan Tobucil dan Klab nonton ini?
Kalo tobucil pendirinya saya. Kalau Klab Nonton kebetulan inisiatifnya datang dari saya. kebanyakan film-filmnya juga dipilih oleh saya. Tahun ini kita punya Setaun tiga kali, cinema politica, satu organisasi film di Kanada yang khusus menampung film-film dokumenter dari seluruh dunia. Jadi kita bisa memutar film yang dipilih oleh dia. Di Indonesia kan ada programmer Indonesia. Jadi dia mengkurasi film apa yang bisa diputer.
Selain itu? Dapet filmnya dari mana?
Koleksi pribadi, emang saya senang berburu film jadi kalo pas lagi keluar biasanya saya nyari film, saya nitip film atau nyari di toko-toko setempat. Dimana aja sih sumbernya, bisa juga ngopi dari temen yang punya film bagus.
Cara milih tema film?
Tergantung dari konteks, April lingkungan kan emang ada hari bumi. Terus kalau sekarang ada film-film yang sama berdasarkan tema cerita. Saya lebih seneng berdasarkan tema cerita.
Seleksi filmnya seperti apa?
Ada pertimbangannya, saya juga mempelajari wacana seputar dunia perfilman. Metal Headbanger ini contohnya. Ini tuh film termasuk film dokumenter antropologi tentang kultur heavy metal. Kalo misalnya orang ingin tahu soal heavy metal, film ini menjadi film yang wajib ditonton. Jadi karena tujuan tobucil itu kan mendukung literasi movement, orang menggemari sesuatu kalau dia tahu sejarah di belakangnya dia akan lebih mengerti kenapa dia suka, jadi bukan kesukaan yang buta.
Soal kepungurusan?
Disini ada koordinator klab, namanya Wiku yang memastikan semua program berjalan sesuai agenda. Program directornya saya, termasuk yang milih film jadi tanggung jawab bersama. Yang penting kan kurator dan operator.
Sejauh ini, peminatnya bagaimana?
Nggak bisa diprediksi, di facebook confirm 200 orang tapi yang datang sedikit, jadi gak bisa diandalkan juga. Yang penting, risiko ketika saya memberikan film-film yang tidak popular.
Itu jadi sebuah cerminan kesadaran masyarakat kita nggak sih?
Males aja kalau saya liat. Mereka ingin tahu tentang banyak hal tapi malas untuk mencari. Kesadaran untuk mencari, datang, berkorbanlah, kalau dia pengen tahu sesuatu dia harus meluangkan waktu, mungkin masih sebatas niat, belum sampai ke tindakan. Kadang juga ada yang bela-belain datang dari Jakarta.
Soal link di Jakarta?
Kita punya banyak teman dari komunitas film, kaya dari konfiden, Jiffest, Boemboe, dan Kineruku.
Sebenarnya film favorit Anda? Sebuah film bisa dikatakan bagus menurut Anda seperti apa?
Yang setelah saya nonton saya terganggu. Saya jadi kepikiran, kenapa tokohnya kaya gitu. Atau ceritanya sangat menyentuh. Atau saya tonton berkali dan terus menerus merasa terganggu. Saya suka Alehandro, Amores Peros, sutradara turunan Serbia Emir Kusturika, Arizona Dreams sama Underground tentang perang bosnia dari sudut pandang seorang oportunis. Kalau yang baru, There Will Be Blood saya suka banget, karena menurut saya itu cerita yang sangat berat. Bercerita tentang kerakusan dan bagaimana agama seringkali diatasnamakan untuk orang menjadi rakus.
Kalau dari periodisasi waktu, lebih seneng film lama atau film baru?
Saya mulai intens menonton mulai 6 tahun yang lalu, 90an sampai kesinilah, kalau dokumenter sengaja saya cari kalau tema-temanya menarik, kaya biografi Fidel Castro. Saya juga termasuk yang ngumpulin dokumenter musik dan biografi seniman.
Itu jadi perpustakaan di rumah?
Ya, si rumah ada sekitar 1500 film. Saya gak mau minjemin film, karena kapok.
Tentang film Indonesia?
Nggak tahu yah, bukannya underestimate, tapi saya merasa belum banyak sutradara yang menggangu saya dengan karyanya, jadi masih biasa.
Apa yang Anda ambil dari sebuah film?
Kenapa saya lebih menyukai film drama daripada science fiction, menurut saya itu tuh simulasi kehidupan. Saya bisa belajar banyak tentang bagaimana seseorang bereaksi terhadap suatu masalah. Kemungkinan-kemungkinan ekspresi manusia. Itu kan menarik. Itu sebabnya saya tidak membatasi diri untuk menonton film. Semua film saya tonton. Kecuali film india. Sangat milih soal film India. Kita bisa melihat budaya mereka tercermin dari cara mengekspresikan diri lewat film. Saya menjadikan film sebagai sebuah kajian budaya. Jadi yang paling senang dari sebuah film adalah mencermati hal-hal seperti itunya. Kalau kita menulis itu sangat membantu untuk visualisasi. Kemungkinan ekspresi, bahwa marah tidak harus dengan teriak-teriak. Dia biasa menjadi karakter, sesuai dengan apa yang diinginkan sutradara. Dia kemampuan akting yang baik, dan saya belum menemukan actor seperti itu di Indonesia.
Tampaknya film Indonesia masih sangat jauh dari harapan?
Mungkin karena saya kebanyakan film nonton luar, jadi harapan terhadap film Indonesia itu tinggi. Saya lebih milih nonton film dokumenter. Karena memang perlu didukung, banyak hal menarik di Indonesia yang sangat perlu didokumentasikan. Tahun 2005 saya sama yang punya Rumah Buku membuat film dokumenter Gamang Kromo. Bagaimana budaya Cina dan Betawi berakulturasi. Bukan orang betawi, yang pertama memainkannya adalah orang Cina di Betawi.
Yang bikin lama apanya?
Risetnya dan pemilihan waktu. Jadi waktunya menyesuaikan dengan mereka, karena ini kan dokumenter. Alami aja. Itu mah sebentar. Ngambil gambar cuma sebentar. Bagaimana kamu menampilkan realitas dan aktualitas. Dan itu akan jadi sangat berbeda feature jurnalistik dan dokumenter. Mempertimbangkan faktor-faktor antropologisnya. Yang penting itu adalah di meja itu ada apa aja, perangkat ritualnya ada apa aja. Tapi kalau buat orang jurnalistik catatan yang pentingnya adalah detail. Makanya di awal perlu apakah ini akan menjadi sebuah film feature atau dokumenter etnografi. Etnografi juga mau bermain di wilayah yang ketat atau mau yang gak terlalu ketat. Film sebagai medium, sama dengan tulisan, yang paling penting adalah kerangka berpikirnya, cara kita membedah mau pake pisau bedah yang mana. Film kan bahasa visual, jadi kita harus paham bahasa visual.
Bagaimana cara menggiring penonton agar sama dengan si filmmaker?
Kita harus sadar bahwa hal itu tidak bisa dilakukan. Yang bisa kamu tampilkan adalah mendekati objektivitas. Tidak pernah ada objektivitas 100% tapi tetep aja kita memilih kata-kata. Itu sangat ditentukan oleh cara melihat si wartawannya. Apalagi film, editing juga berpengaruh. Kamu dibatasi oleh durasi waktu, lalu disitu yang berperan adalah editor yang kemudian membingkai peristiwanya. Prinsip-prinsip dasar seperti itu lah yang harus dipahami.(link)
untuk informasi lebih lanjut mengenai Tobucil & Klabs klik disini
5 comments:
ci...
info bagus nih...
sekali2 nonton deh,,,
kykny bagus2 jg tuh filmnya
bgs nih infonya ... jadi tau tempat buat nonton film film dokumenter ... bosen gw ma film film di bioskop ... hehe*
buat movielovers yang bosen sama film-film bioskop, coba dateng aja ke Tobucil setiap Sabtu jam 18.30 WIB. ada tema yang berbeda setiap bulannya. bulan ini lagi muter film-film yang diadaptasi dari komik! seru kan?
kemaren abis nonton film dokumenter ttg anak-anak punk n rock di tobucil,, rame juga,
yap, di klab-nonton (tobucil) setiap bulan memang punya tema yang berbeda.
Khusus buat bulan Mei lalu, temanya adalah musik
Salah satunya film dokumnenter ttg anak-anak punk n rock itu..
Post a Comment